Blog Tentang SEO, Teknologi

Pelaksanaan dan Penyimpangan Sistem Demokrasi Di Indonesia Periode 1945-Sekarang

"Mas, saya lagi cari pembahasan pelaksanaan dan penyimpangan sistem demokrasi di indonesia?"

"Mas, saya butuh pembahasan ini dengan lengkap?"

"Mas, kasih pembahasan sekaligus contohnya ya?"

Pada bab ini kalian diajak untuk mendalami materi tentang dinamika demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara khususnya sistem demokrasi periode 1945-1949. Dalam lingkup negara, apabila sebuah negara melaksanakan pemilihan umum secara jujur dan adil, juga memberikan kebebasan berpendapat kepada warga negaranya, maka dalam negara tersebut, demokrasi telah dibudayakan, artinya nilai-nilai demokrasi telah dipahami dan diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Istilah demokrasi berasal dari bahasa yunani, yaitu " Demos " dan "Kratos/Kratein ", Demos berarti penduduk atau rakyat, dan Kratos/Kratein berarti kekuasaan atau pemerintahan. Jadi, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat. Dalam negara demokrasi, kekuasaan negara berada di tangan rakyat dan penguasa menjalankan pemerintahan atas nama rakyat dan atas kehendak rakyat.



<> PELAKSANAAN DAN PENYIMPANGAN SISTEM DEMOKRASI DI INDONESIA PADA PERIODE 1945-1949

A. PELAKSANAAN SISTEM DEMOKRASI PERIODE 1945-1949

Pada masa ini mengindikasikan keinginan kuat dari para pemimpin negara untuk membentuk pemerintahan demokratis. Pelaksanaan demokrasi baru terbatas pada fungsinya pers yang mendukung revolusi kemerdekaan. Lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945 belum dibentuk, karena UUD 1945 pada saat ini tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya mengingat kondisi Indonesia yang sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan menjaga kedaulatan negara. Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia. Hal ini berdasarkan pada Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945, diputuskanlah bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Sehingga pada tanggal 14 November 1945 dibentuklah Kabinet Semi-Presidensial (“Semi-Parlementer”) yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan perubahan sistem pemerintahan agar dianggap lebih demokratis.

Pada saat itu, berlaku pasal IV Aturan Peralihan yang menetapkan segala kekuasaan negara dijalankan oleh presiden dengan bantuan Komite Nasional Indonesia Pusat atau disebut sistem presidensial, namun terhitung sejak tanggal 14 November 1945, Soekarno sebagai kepala pemerintahan republik diganti oleh Sutan Sjahrir, dengan kata lain sistem pemerintahannya pun berubah ke parlementer. Alasan politis untuk mengubah sistem pemerintahan dari Presidensial menjadi Parlementer dipicu karena seminggu sebelum perubahan pemerintahan itu, Den Haag mengumumkan dasar rencananya. Soekarno menolak hal ini sedangkan Sjahrir mengumumkan pada tanggal 4 Desember 1945 bahwa pemerintahnya menerima tawaran ini dengan syarat pengakuan Belanda atas Republik Indonesia.

Kemudian, dibentuklah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 29 April 1945, adalah Badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Prof.Dr.Soepomo mengusulkan asas persatuan, M.Yamin mengusulkan asas peri kerakyatan, dan Ir.Soekarno memasukkan asas mufakat atau demokrasi dalam usulannya tentang dasar Indonesia merdeka yang kemudian diberi nama Pancasila. Keyakinan mereka yang sangat besar tersebut timbul karena dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan mereka. Mereka percaya bahwa demokrasi bukan merupakan sesuatu yang hanya terbatas pada komitmen, tetapi juga merupakan sesuatu yang perlu diwujudkan.

B. PENYIMPNGAN-PENYIMPANAGN SISTEM DEMOKRASI PERIODE 1945-1949

1) Komite Nasional Pusat berubah fungsi dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif yang ikut menentukan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang merupakan wewenang MPR, atas dasar Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 1945 “Bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuk MPR dan DPR diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara, serta meyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubung gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat”.

2) Adanya perubahan sistem kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer, setelah dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945. Akibatnya dibentuklah kabinet yang pertama negara RI yang dipimpin Perdana Menteri Sutan Syahri Pemerintahan parlementer tidak berjalan sebagaimana harapan Maklumat Pemerintahan 14 November 1945, karena keadaan politik dan keamanan negara, misalnya penculikan Perdana Menteri Sutan Syahrir 2 Oktober 1946, serangan umum Belanda tahun 1947, dan pemberontakan PKI Madiun. Kejadian ini memaksa presiden untuk mengambil alih kekuasaan menjadi system pemerintahan presidensial.

C. PELAKSANAAN DAN PENYIMPANGAN SISTEM DEMOKRASI DI INDONESIA PADA PERIODE 1945-1949

Pada masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah sistem pemerintahan parlementer, yang meganut Sistem multi partai. Didasarkan pada konstitusi RIS, pemerintahan yang diterapkan saat itu adalah sistem parlementer kabinet semu (Quasy Parlementary). Perlu diketahui bahwa Sistem Pemerintahan yang dianut pada masa konstitusi RIS bukanlah cabinet parlementer murni karena dalam sistem parlementer murni, parlemen mempunyai kedudukan yang sangat menentukan terhadap kekuasaan pemerintah.

Diadakannya perubahan bentuk negara kesatuan RI menjadi negara serikat ini adalah merupakan konsekuensi sebagai diterimanya hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Perubahan ini dituangkan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Hal ini karena adanya campur tangan dari PBB yang memfasilitasinya.

Wujud dari campur tangan PBB tersebut adanya konfrensi di atas yaitu : – Indonesia merupakan Negara bagian RIS – Indonesia RIS yang di maksud Sumatera dan Jawa – Wilayah diperkecil dan Indonesia di dalamnya – RIS mempunyai kedudukan yang sama dengan Belanda – Indonesia adalah bagian dari RIS yang meliputi Jawa, Sumatera dan Indonesia Timur.

> Dalam RIS ada point-point sebagai berikut :

  1. Pemerintah berhak atas kekuasaan TJ atau UU Darurat mempunyai kekuatan atas UU Federasi.
  2. Berdasarkan Konstitusi RIS yang menganut sistem pemerintahan parlementer ini, badan legislatif RIS dibagi menjadi dua kamar, yaitu Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.

<> PELAKSANAAN DAN PENYIMPANGAN SISTEM DEMOKRASI DI INDONESIA PADA PERIODE 1950-1959

Era 1950-1959 ialah era dimana presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, dimana periode ini berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959. Masa ini merupakan masa berakhirnya Negara Indonesia yang federalis. Landasannya adalah UUD ’50 pengganti konstitusi RIS ’49. Sistem Pemerintahan yang dianut adalah parlementer cabinet dengan demokrasi liberal yang masih bersifat semu. Adapun ciri-ciriny adalah :
  1. Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.
  2. Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintahan.
  3. Presiden berhak membubarkan DPR.
  4. Perdana Menteri diangkat oleh Presiden.

Diawali dari tanggal 15 Agustus 1950, Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUDS NKRI, UU No. 7/1850, LN No. 56/1950) disetujui oleh DPR dan Senat RIS. Pada tanggal yang sama pula, DPR dan Senat RIS mengadakan rapat di mana dibacakan piagam pernyataan terbentuknya NKRI yang bertujuan:
  1. Pembubaran secara resmi negara RIS yang berbentuk federasi.
  2. Pembentukan NKRI yang meliputi seluruh daerah Indonesia dengan UUDS yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.

UUDS ini merupakan adopsi dari UUD RIS yang mengalami sedikit perubahan, terutama yang berkaitan dengan perubahan bentuk negara dari negara serikat ke negara kesatuan.

Antara 1950 – 1959 Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer yang dalam waktu 4 tahun telah terjadi 33 kali pergantian kabinet (Feith, 1962 dan Feith, 1999). Setelah unitary dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Indonesia mulai menganut sistem Demokrasi Liberal dimana dalam sistem ini pemerintahan berbentuk parlementer sehingga perdana menteri langsung bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) yang terdiri dari kekuatan-kekuatan partai. Anggota DPR berjumlah 232 orang yang terdiri dari Masyumi (49 kursi), PNI (36 kursi), PSI (17 kursi), PKI (13 kursi), Partai Katholik (9 kursi), Partai Kristen (5 kursi), dan Murba (4 kursi), sedangkan sisa kursi dibagikan kepada partai-partai atau perorangan, yang tak satupun dari mereka mendapat lebih dari 17 kursi. Ini merupakan suatu struktur yang tidak menopang suatu pemerintahan-pemerintahan yang kuat, tetapi umumnya diyakini bahwa struktur kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila pemilihan umum dilaksanakan.

Setelah pembentukan NKRI diadakanlah berbagai usaha untuk menyusun Undang-Undang Dasar baru dengan membentuk Lembaga Konstituante. Lembaga Konstituante adalah lembaga yang diserahi tugas untuk membentuk UUD baru. Konstituante diserahi tugas membuat undang-undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Namun sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru. Maka Presiden Soekarno menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang berisi ide untuk kembali pada UUD 1945.

<> PELAKSANAAN DAN PENYIMPANGAN SISTEM DEMOKRASI DI INDONESIA PADA PERIODE 1959-1966

Sebagaimana dibentuknya sebuah badan konstituante yang bertugas membuat dan menyusun Undang Undang Dasar baru seperti yang diamanatkan UUDS 1950 pada tahun 1950, namun sampai akhir tahun 1959, badan ini belum juga berhasil merumuskan Undang Undang Dasar yang baru, hingga akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959. Bung Karno dengan dukungan Angkatan Darat, mengumumkan dekrit 5 Juli 1959. Isinya; membubarkan Badan Konstituante dan kembali ke UUD 1945. Sejak 1959 sampai 1966, Bung Karno memerintah dengan dekrit, menafikan Pemilu dan mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup, serta membentuk MPRS dan DPRS. Sistem yang diberlakukan pada masa ini adalah sistem pemerintahan presidensil.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ialah dekrit yang mengakhiri masa parlementer dan digunakan kembalinya UUD 1945. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin. Isinya ialah:
  1. Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.
  2. Pembubaran Konstituante.
  3. Pembentukan MPRS dan DPAS.

Sejak tahun 1959-1966, Bung Karno menerapkan demokrasi terpimpin. Semua anggota DPR-GR dan MPRS diangkat untuk mendukung program pemerintahannya yang lebih fokus pada bidang politik. Bung Karno berusaha keras menggiring partai-partai politik ke dalam ideologisasi NASAKOM—Nasional, Agama dan Komunis. Tiga pilar utama partai politik yang mewakili NASAKOM adalah PNI, NU dan PKI. Bung Karno menggelorakan Manifesto Politik USDEK. Dia menggalang dukungan dari semua kekuatan NASAKOM. Era Demokrasi Terpimpin adalah kolaborasi antara kekuasaan kaum borjuis dengan komunis itu ternyata gagal dalam memperbaiki sistem perekonomian Indonesia, malahan yang terjadi adalah penurunan cadangan devisa, inflasi terus menaik tanpa terkendali, korupsi kaum birokrat dan militer merajalela, sehingga puncaknya adalah pemberontakan PKI yang dikenal dengan pemberontakan G 30 S/ PKI. Selain itu, Presiden mempunyai kekuasaan mutlak dan dijadikannya alat untuk melenyapkan kekuasaan-kekuasaan yang menghalanginya sehingga nasib partai politik ditentukan oleh presiden (10 parpol yang diakui). Tidak ada kebebasan mengeluarkan pendapat. Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah MPR. Akan tetapi, kenyataannya bertentangan dengan UUD 1945, sebab MPRS tunduk kepada Presiden.

Presiden menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal tersebut tampak dengan adanya tindakan presiden untuk mengangkat Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri III serta pengagkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-partai besar serta wakil ABRI yang masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen. Presiden juga membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959. Tindakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena Berdasarkan UUD 1945 pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui pemilihan umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-anggota yang duduk di MPR. Anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan syarat : Setuju kembali kepada UUD 1945, Setia kepada perjuangan Republik Indonesia, dan Setuju pada manifesto Politik. Keanggotaan MPRS terdiri dari 61 orang anggota DPR, 94 orang utusan daerah, dan 200 orang wakil golongan. Tugas MPRS terbatas pada menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). TAHUN 1966-1998 UUD yang sama pernah ditafsirkan sebagai single-executive sistem, sesuai ketetapan Pasal 4 sampai 15 dan Presiden menjabat sebagai Kepala Negara serta sekaligus Kepala Pemerintahan. Antara 1966 sampai 1998, berlaku sistem pemerintahan untuk negara integralistik dengan konsentrasi kekuasaan amat besar pada Presiden (too stong presidency).

Orde baru pimpinan Soeharto lahir dengan tekad untuk melakukan koreksi terpimpin pada era orde lama. Namun lama kelamaan banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Soeharto mundur pada 21 Mei 1998. Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada dasarnya sistem yang diberlakukan pada masa ini adalah sistem pemerintahan presidensil. Dalam masa ini, DPR berada di bawah kontrol eksekutif. Kekuasaan presiden yang terlalu besar dianggap telah mematikan proses demokratisasi dalam bernegara. DPR sebagai lembaga legislatif yang diharapkan mampu menjalankan fungsi penyeimbang (checks and balances) dalam prakteknya hanya sebagai pelengkap dan penghias struktur ketatanegaraan yang ditujukan hanya untuk memperkuat posisi presiden yang saat itu dipegang oleh Soeharto.

Sejak diumumkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai sekarang, yang terbagi atas masa Orde Lama, Orde Baru, dan masa Era Global (Reformasi). Pelaksanaan berlakunya konstitusi-konstitusi di Indonesia (UUD 1945 I, Konstitusi RIS, UUDS 1950, dan UUD 1945 II) telah melahirkan berbagai penyimpangan secara konstitusional dalam kehidupan ketatanegaraan RI. Berikut ini akan diuraikan contoh penyimpangan-penyimpangan itu.

> Berbagai Penyimpangan Pada Masa Orde Lama (1959-1965).

Pada masa Orde Lama lembaga-lembaga negara MPR, DPR, DPA dan BPK masih dalam bentuk sementara, belum berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945. Beberapa penyimpangan yang terjadi pada masa Orde Lama, antara lain:
  1. Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif (bersama DPR) telah mengeluarkan ketentuan perundangan yang tidak ada dalam UUD 1945 dalam bentuk penetapan presiden tanpa persetujuan DPR. Melalui Ketetapan No. I/MPRS/1960, MPR menetapkan pidato presiden 17 Agustus 1959 berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” (Manifesto Politik Republik Indonesia) sebagai GBHN bersifat tetap. Hal ini tidak sesuai dengan UUD 1945.
  2. MPRS mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945, karena DPR menolak APBN yang diajukan oleh presiden. Kemudian presiden membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR), yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
  3. Presiden membubarkan DPR hasil pemilu 1955, karena DPR menolak APBN yang diajukan oleh presiden. Kemudian presiden membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR), yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Pimpinan lembaga-lembaga negara dijadikan menteri-menteri negara, termasuk pimpinan MPR kedudukannya sederajat dengan menteri. Sedangkan presiden menjadi anggota DPA.
  4. Demokrasi yang berkembang adalah demokrasi terpimpin. Berubahnya arah politik luar negeri dari bebas dan aktif menjadi politik yang memihak salah satu blok.

Beberapa penyimpangan tersebut mengakibatkan tidak berjalannya sistem sebagaimana UUD 1945, memburuknya keadaan politik, keamanan dan ekonomi sehingga mencapai puncaknya pada pemberontakan G-30-S/PKI. Pemberontakan ini dapat digagalkan oleh kekuatan-kekuatan yang melahirkan pemerintahan Orde Baru.

> Berbagai Penyimpangan Pada Masa Orde Baru (1965-1998).

Orde Baru sebagai pemerintahan yang berniat mengoreksi penyelewenangan di masa Orde Lama dengan menumbuhkan kekuatan bangsa, stabilitas nasional dan proses pembangunan, bertekad melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Bentuk koreksi terhadap Orde Lama, yaitu melalui:

Sidang MPRS yang menghasilkan :

Pengukuhan Supersemar melalui Tap. No. IX/MPRS/1966. (Lahirnya Supersemar dianggap sebagai lahirnya pemerintahan Orde Baru).
Penegasan kembali landasan Kebijakan Politik Luar Negeri Republik Indonesia (TAP No. XII/MPRS/1966).
Pembaharuan Kebijakan Landasan Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan (TAP No. XXIII/MPRS/1966).
Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya (TAP No. XXV/MPRS/1966).
Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno (TAP No. XXXIII/MPRS/1966).
Pengangkatan Soeharto sebagai Presiden sampai dengan terpilihnya Presiden oleh MPR hasil pemilihan umum (TAP No. XLIV/MPRS/1968).

Pembentukan undang-undang oleh Pemerintah bersama DPR terdiri dari :
  1. UU No. 3 Tahun 1967 tentang DPA yang diubah dengan UU No. 4 Tahun 1978.
  2. UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu.
  3. UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
  4. UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA.
  5. UU No. 5 Tahun 1973 tentang Susunan dan Kedudukan BPK.

Pembahasan rancangan undang-undang tentang pemilu yang memutuskan 12 persetujuan, yaitu :
  1. Jumlah anggota DPR tidak boleh dibesar-besarkan.
  2. Ada perimbangan antara wakil dari Pulau Jawa dan luar Jawa.
  3. Diperhatikannya faktor jumlah penduduk.
  4. Ada anggota yang diangkat dan yang dipilih.
  5. Setiap kabupaten dijamin satu wakil.
  6. Persyaratan tempat tinggal calon harus dihapuskan.
  7. Yang diangkat adalah wakil dari ABRI dan sebagian sipil.
  8. Jumlah anggota MPR yang diangkat sepertiga dari seluruh anggota MPR.
  9. Jumlah anggota DPR adalah 460 terdiri dari 360 yang dipilih dan 100 yang diangkat.
  10. Sistem pemilu adalah perwakilan berimbang sederhana.
  11. Sistem pencalonan adalah stelsel daftar.
  12. Daerah pemilihan adalah Daerah Tingkat I.

Di samping koreksi tersebut pemerintahan Orde Baru telah melakukan berbagai penyimpangan, antara lain:

Dalam praktek pemilihan umum, terjadi pelanggaran misalnya:
  1. Terpengaruhnya pilihan rakyat oleh campur tangan birokrasi.
  2. Panitia pemilu tidak independen.
  3. Kompetisi antarkontestan tidak leluasa.
  4. Penghitungan suara tidak jujur.
  5. Kampanye terhambat oleh aparat keamanan/perizinan.
  6. TPS dibuat di kantor-kantor.
  7. Pemungutan suara dilaksanakan pada hari kerja.
  8. Pemilih pendukung Golkar diberi formulir A-B, 5 sampai 10 lembar seorang.

Di bidang politik, antara lain :

Ditetapkannya calon resmi partai politik dan Golkar dari keluarga presiden atau yang terlibat dengan bisnis keluarga presiden, dan calon anggota DPR/MPR yang monoloyalitas terhadap presiden (lahirnya budaya paternalisti /kebapakan dan feodal gaya baru).
Tidak berfungsinya kontrol dari lembaga kenegaraan politik dan sosial, karena didominasi kekuasaan presiden/eksekutif yang tertutup sehingga memicu budaya korupsi kolusi dan nepotisme.
Golkar secara terbuka melakukan kegiatan politik sampai ke desa-desa, sedangkan parpol hanya sampai kabupaten.
Ormas hanya diperbolehkan berafiliasi kepada Golkar.
Berlakunya demokrasi terpimpin konstitusional (Eep Saefulloh Fatah, 1997: 26).

Di bidang hukum, antara lain :

Belum memadainya perundang-undangan tentang batasan kekuasaan presiden dan adanya banyak penafsiran terhadap pasal-pasal UUD 1945.
Tidak tegaknya supremasi hukum karena penegak hukum tidak konsisten, adanya mafia peradilan, dan banyaknya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini tidak menjamin rasa adil, pengayoman dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Ada penyimpangan sekurang-kurangnya 79 Kepres (1993-1998) yang dijadikan alat kekuasaan sehingga penyelewengan terlindungi secara legal dan berlangsung lama (hasil kajian hukum masyarakat transparansi Indonesia).

Di bidang ekonomi, antara lain :

Perekonomian nasional sebagaimana diamanatkan pasal 33 UUD 1945 tidak terpenuhi, karena munculnya pola monopoli terpuruk dan tidak bersaing. Akses ekonomi kerakyatan sangat minim.
Keberhasilan pembangunan yang tidak merata menimbulkan kesenjangan antara yang kaya dan miskin serta merebaknya KKN.
Bercampurnya institusi negara dan swasta, misalnya bercampurnya jabatan publik, perusahaan serta yayasan sehingga pemegang kekuasaan dan keuntungan menjadi pemenang serta mengambil keuntungan secara tidak adil. Sebagai contoh kasus-kasus Kepres Mobil Nasional, Institusi Bulog, subordinasi Bank Indonesia, dan proteksi Chandra Asri.
Adanya korporatisme yang bersifat sentralis, ditandai oleh urbanisasi besar-besaran dari desa ke kota atau dari daerah ke pusat. Korporatisme ialah sistem kenegaraan dimana pemerintah dan swasta saling berhubungan secara tertutup satu sama lain, yang ciri-cirinya antara lain keuntungan ekonomi hanya dinikmati oleh segelintir pelaku ekonomi yang dekat dengan kekuasaan, dan adanya kolusi antara kelompok kepentingan ekonomi serta kelompok kepentingan politik.
Perkembangan utang luar negeri dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Menurut Dikdik J. Rachbini (2001:17-22) pada tahun 1980- 1999 mencapai 129 miliar dolar AS, yang berarti aliran modal ke luar negeri pada masa ini mencapai angka lebih dari seribu triliun. Sementara kebijakan utang luar negeri tercemar oleh kelompok pemburu keuntungan yang berkolusi dengan pemegang kekuasaan. Kebijakan pemerintah dianggap benar, sedangkan kritik dan partisipasi masyarakat lemah. Kombinasi utang luar negeri pemerintah dengan swasta (yang memiliki utang luar negeri berlebihan) menambah berat beban perekonomian negara kita.
Tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi yang ditandai naiknya harga kebutuhan pokok dan menurunnya daya beli masyarakat. Krisis ini melahirkan krisis politik, yaitu ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Soeharto. Krisis ekonomi yang berkepanjangan, besarnya utang yang harus dipikul oleh negara, meningkatnya pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan sosial, menumbuhkan krisis di berbagai bidang kehidupan. Hal ini mendorong timbulnya gerakan masyarakat terhadap pemerintah, yang dipelopori oleh para mahasiswa dan dosen. Demonstrasi besar-besaran pada tanggal 20 Mei 1998 merupakan puncak keruntuhan Orde Baru, yang diakhiri dengan penyerahan kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada B.J. Habibie pada tanggal 21 Mei 1998.


<> PELAKSANAAN DAN PENYIMPANGAN SISTEM DEMOKRASI DI INDONESIA PADA PERIODE 1998-SEKARANG

Masa ini merupakan masa dimana telah berakhrirnya rezim orde baru dan dimulainya masa reformasi. Pasca orde baru UUD 1945 telah diamandemen sebanyak empat kali. Sejak 2002, dengan berlakunya UUD hasil amandemen keempat, berlaku sistem presidensial. Posisi MPR sebagai pemegang kedaulatan negara tertinggi dan sebagai perwujudan dari rakyat dihapus, dan badan legislatif ditetapkan menjadi badan bi-kameral dengan kekuasaan yang lebih besar (stong legislative). UUD 2002 hasil amandemen bahkan telah menimbulkan kompleksitas baru dalam hubungan eksekutif dan legislative, bila presiden yang dipilih langsung dan mendapat dukungan popular yang besar tidak mampu menjalankan pemerintahannya secara efektif karena tidak mendapat dukungan penuh dari koalisi partai-partai mayoritas di DPR.

Political gridlocks semacam itu telah diperkirakan dan karenanya ingin dihindari oleh para perancang UUD 1945, hampir 6 dekade yang lalu, sehingga akhirnya tidak memilih sistem presidensial sebagai sistem pemerintahan untuk negara Indonesia yang baru merdeka. (Setneng RI, 1998 dan Kusuma, FH-UI, 2004). Setelah MPR mengesahkan amandemen ketiga dan keempat UUD 1945, sistem pemerintahan negara Indonesia berubah menjadi sistem presidensial. Perubahan tersebut ditetapkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD baru. MPR tidak lagi merupakan perwujudan dari rakyat dan bukan locus of power, lembaga pemegang kedaulatan negara tertinggi. Pasal 6A ayat (1) menetapkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Dua pasal tersebut menunjukkan karakteristik sistem presidensial yang jelas berbeda dengan staats fundamental norm yang tercantum dalam Pembukaan dan diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan UUD 1945.

Pelaksanaan demokrasi pancasila pada era reformasi telah banyak memberikan ruang gerak pada parpol maupun DPR untuk mengawasi pemerintah secara kritis dan dibenarkan untuk unjuk rasa. Sistem Pemerintahan setelah amandemen (1999 – 2002) :
  1. MPR bukan lembaga tertinggi lagi.
  2. Komposisi MPR terdiri atas seluruh anggota DPR ditambah DPD yang dipilih oleh rakyat.
  3. Presiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
  4. Presiden tidak dapat membubarkan DPR.
  5. Kekuasaan Legislatif lebih dominan.

Jadi, dengan adanya materi ini semoga lebih memudahkan anda dalam belajar. Semoga infonya bermanfaat. Jika ada pertanyaan tentang artikel ini cantumkan di kolom komentar.

Terima Kasih
1 Komentar untuk "Pelaksanaan dan Penyimpangan Sistem Demokrasi Di Indonesia Periode 1945-Sekarang"

- Pesan Berdasarkan Topik
- Pesan Tidak Mengandung SARA dan Pornografi

Back To Top